Semoga artikel ini berguna.
Kujang
adalah senjata tradisional provinsi Jawa Barat. Senjata ini kenapa
dikenal dengan nama Kujang, karena hampir mirip Bentuknya dengan sabit
atau celurit. Namun, ada kelainan pada bagian punggungnya yang
berlubang. Mulanya senjata ini dipergunakan pada abad ke-4 sebagai alat
kebutuhan pertanian. Akan tetapi pada pada abad ke-9 masehi, nilai
kujang menjadi sakral. Pada masa ini, kujang dipergunakan sebagai
senjata pusaka oleh Raja-raja di tanah Pasundan. Senjata ini diyakini
memiliki kekuatan magis, dan sanggup memberi wibawa dan kesaktian bagi
pemiliknya.
Kujang
adalah senjata yang penuh dengan misteri. Dikatakan demikian karena
banyak yang meyakini di dalam Kujang terdapat sebuah kekuatan magis dan
sakral. Bagi kebanyakanorang-orang Sunda, Kujang dianggap tak
sekadar senjata biasa. Melainkan senjata yang memiliki “kekuatan lain”
di luar nalar manusia. Bagi orang-orang Sunda yang tak meyakini adanya
kekuatan lain (gaib) dibalik Kujang pun, pasti akan memperlakukan Kujang
dengan istimewa. Setidaknya menghargai Kujang sebagai hiasan rumah,
bahkan cinderamata. Di sinilah nilai kewibawaan senjata Kujang
dibuktikan.
Kujang
memang memiliki nilai-nilai filosofi bagi orang-orang Sunda Kuno. Dan
proses penciptaannya sangat berkait erat dengan kebutuhan akan kekuatan
lain dari sebuah senjata. Muasal Kujang sendiri sebenarnya terinspirasi
dari sebuah alat kebutuhan pertanian. Alat ini telah dipergunakan secara
luas pada abad ke-4 sampai dengan abadke-7 Masehi. Ketika itu bentuknya
lebih mendekati figure arit atau celurit. Barulah pada abad ke-9, wujud
Kujang mulai berwujud seperti yang kita lihat sekarang. Sejak itulah
image masyarakat soal Kujang telah berubah.
Azimat Raja-Raja
Nilai
Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul dalam
sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan. Tepatnya pada masa pemerintahan
Prabu Kudo Lalean. Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur
dipergunakan para raja dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang
kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Kudo Lalean tengah melakukan
tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk
mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini dipergunakan sebagai alat
pertanian.
Anehnya,
desain terbaru yang ada di benak sang Prabu, bentuknya mirip dengan
Pulau “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa kini.
Nah, setelah mendapat ilham itu, segera prabu Kudo Lalean menugaskan Mpu
Windu Supo, seorang pandai besi dari keluarga kerajaan. Ia diminta
membuat mata pisau seperti yang ada di dalam pikiran sang Prabu.
Mulanya, Mpu Windu Supo gusar soal bentuk senjata yang mesti dibuatnya.
Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu Windu Supo melakukan meditasi,
meneropong alam pikiran sang prabu. Akhirnya didapatlah sebuah bayangan
tetang purwa rupa (prototype) senjata seperti yang ada dalam pikiran
Kudo Lalean.
Setelah
meditasinya usai, Mpu Windu Supo memulai pekerjaannya. Dengan
sentuhan-sentuhan magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual,
maka jadilah sebuah senjata yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah
Kujang yang bentuknya unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib.
Senjata ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok. Bentuknya
menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata
pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada generasi mendatang selalu
berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan. Bentuk Pulau Jawa
sendiri merupakan filosofi dari cita-cita sang Prabu, untuk menyatukan
kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu kerajaan yang dikepalai
Raja Padjadjaran Makukuhan.
Sementara tiga lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan
dari
agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea. Tiga aspek Ketuhanan
menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti)
juga diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu. Kerajaan-kerajaan itu
antara lain Pengging Wiraradya, yang berlokasi di bagian Timur Jawa;
Kerajaan Kambang Putih, yang berlokasi di bagian Utara Jawa, dan
Kerajaan Padjadjaran Makukuhan, berlokasi di Barat.
Berubah Bentuk
Bentuk
Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang
berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang
telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan
upaya dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian Santang, yang berkeinginan
meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa
Hindu dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan
filosofi ajaran Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak
(kalimat) syahadat dimana stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan
Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan
niat di dalam hati inilah, maka setiap manusia secara otomatis masuk
Islam.
Manifestasi
nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area mata pisau yang
menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru
seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada
Islam dan ajarannya. Lima lubang pada Kujang telah menggantikan makna
Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun
Islam). Sejak itulah model Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang
didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang
sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi
kekuatan tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.
Dalam
perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum
bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti
para Raja dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap
terlihat dipajang sebagai mendekorasi rumah.
Konon
ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan, perlindungan,
kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada satu hal yang tak boleh
dilakukan. Yakni memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan
mata pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan
tabuatau larangan. Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya
sedang berdiri diantara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini
akan menyebabkan kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun,
tidak lebih tapi bisa kurang.(Waulahu’alam).
Sum
0 komentar:
Posting Komentar