Abdullah Totong Mahmud
A.T. Mahmud | |
---|---|
A.T. Mahmud |
|
Latar belakang | |
Nama lahir | Masagus Abdullah Mahmud |
Lahir | 3 Februari 1930 Palembang, Sumatera Selatan, Hindia Belanda |
Meninggal | 6 Juli 2010 (umur 80) Jakarta, Indonesia |
Nama lain | Totong Machmud A.T. Mahmud |
Genre | Lagu anak-anak |
Pekerjaan | Pencipta lagu anak-anak Pengawas Kantor Wilayah Depdikbud DKI Jakarta (Pensiun) |
Pasangan | Mulyani Sumarman |
Anak | Ruri Mahmud, Rika Vitrina, Revina Ayu |
Orang tua | Masagus Mahmud & Masayu Aisyah |
Daftar isi |
Latar belakang
Keluarga dan nama
Mahmud adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara. Ibu bernama Masayu Aisyah, ayah bernama Masagus Mahmud. Dia diberi nama Abdullah dan biasa dipanggil "Dola" oleh kedua orang tuanya. Nama pemberian orang tuanya tercatat pada ijazah yang dimilikinya pada sekolah Sjoeritsoe Mizoeho Gakoe-en (sekolah Jepang) tahun 1945. Pada ijazah itu nama lengkapnya tertulis: "Masagus Abdu'llah Mahmoed".Di rumah, kampung, dan teman sekolah, ia lebih dikenal dengan nama panggilan Totong. Pada surat ijazah Sekolah Menengah Umum Bagian Pertama (setingkat SLTP) tahun 1950, namanya tertulis "Totong Machmud". Konon menurut cerita ibunya, ketika dirinya masih bayi ada keluarga Sunda, tetangganya, sering menggendong dan menimangnya sambil berucap, "... tong! ...otong!" Sang Ibu mendengarnya seperti bunyi "totong". Sejak itu, entah mengapa, ibunya memanggilnya dengan "Totong". Nama ini diterima di lingkungan keluarga dan kerabatnya sehingga nama lengkapnya kemudian menjadi "Abdullah Totong Mahmud", disingkat "A.T. Mahmud".
Masa sekolah
Mahmud masuk Sekolah Rakyat (SD) ketika tinggal di Sembilan Ilir. Setahun kemudian, setelah berumur 7 tahun, ia dipindahkan ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) 24 Ilir. Ada kenangan yang tak dapat dilupakannya kepada guru HIS yang mengajarkan musik, khususnya membaca notasi angka. Cara guru mengajarkannya sangat menarik. Guru memperkenalkan urutan nada do rendah sampai do tinggi dengan kata-kata do-dol-ga-rut-e-nak-ni-an. Kemudian, urutan nada dinyanyikan kebalikannya, dari nada tinggi turun ke nada rendah masih dengan kata-kata kocak e-nak-ni-an-do-dol-ga-rut. Setelah murid menguasai tinggi urutan nada dengan baik, naik dan turun, melalui latihan dengan kata-kata, guru mengganti kata-kata dengan notasi.Setelah itu, diberikan latihan lanjut membaca notasi angka, seperti menyanyikan bermacam-macam jarak nada (interval), bentuk dan nilai not. Sesudah itu barulah murid-murid diberi nyanyian baru secara lengkap untuk dipelajari. Cara mempelajari nyanyian demikian sungguh menyenangkan.
Zaman pendudukan Jepang dan zaman revolusi
Pada tahun 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada bala tentara Jepang. Saat itu ia duduk di kelas V HIS. Dalam keadaan peralihan kekuasaan pemerintahan itu, ia pindah ke Muaraenim. Di sana, ia dimasukkan ke sekolah eks HIS, yang telah berganti nama menjadi Kanzen Syogakko. Di sinilah ia mulai bermain sandiwara dan mengenal musik. Sandiwara yang pernah ia ikuti adalah ketika sekolah mengadakan pertunjukan pada akhir tahun ajaran bertempat di gedung bioskop. Cerita yang ditampilkan legenda dari Sumatra Barat, berjudul Sabai Nan Aluih dan ia berperan sebagai Mangkutak Alam.Di kota ini pula ia berkenalan dengan Ishak Mahmuddin, seorang anggota orkes musik Ming yang terkenal di kota Muaraenim. Ming adalah nama pemimpin orkes. Alat yang dikuasai Ishak adalah alat musik tiup saksofon, selain beberapa alat musik lain. Ishak kemudian mengajarinya bermain gitar. Selain itu, Ishak yang pandai mengarang lagu itu turut membimbingnya mengarang lagu. Melihat kemampuan Mahmud yang terus meningkat, Ishak pun mengajaknya bergabung dengan Orkes Ming umtuk memainkan alat musik, dan kadang-kadang ukulele serta bas.
Masa revolusi 1945-1949 membuatnya tidak dapat bersekolah dengan baik. Ia ikut masuk kancah perjuangan dengan menjadi anggota Tentara Pelajar. Selama masa itu, kehidupannya berubah. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain, bahkan keluar masuk hutan. Syukurlah, ia dapat melewati masa itu dengan selamat, meskipun ada rekan-rekannya yang meninggal.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan R.I., Mahmud pun keluar dari kesatuan Tentara Pelajar. Ia kemudian melanjutkan sekolah dan dinyatakan lulus dari SMU bagian Pertama (SLTP) setelah mengikuti ujian akhir pada tanggal 11-16 Agustus 1950. Ketiadaan biaya membuatnya tidak dapat segera melanjutkan pendidikan. Pamannya, Masagus Alwi mengajaknya bekerja di salah satu bank milik Belanda yang masih beroperasi. Ajakan tersebut diterima. Di tempatnya bekerja, ia dapat melihat langsung keramaian lalu-lintas, lalu-lalang kendaraan, pejalan kaki, juga para siswa membawa buku sekolahnya. Pikiran dan perasaannya mulai gelisah. Ia ingin kembali ke sekolah.
Kebetulan di Palembang sedang dibuka Sekolah Guru bagian A (SGA) yang memberi tunjangan belajar bagi siswanya selama tiga tahun, dengan syarat setelah tamat bersedia ditempatkan di mana saja sebagai guru. Ia pun berhenti bekerja di bank dan segera mendaftar sebagai siswa baru di SGA. Selama tiga tahun (1951-1953) ia belajar di SGA. Selama pendidikan di SGA, ia pernah mengarang nyanyian untuk ibu. Kata-katanya bila disimpulkan, berbunyi: betapa dalam laut, betapa tinggi gunung, tidak dapat melebihi dalam dan tingginya kasih Ibu. Sayang, teks nyanyian ini tidak dimilikinya lagi, hilang.
Masa pascasekolah
Setelah lulus SGA, ia ditempatkan di Tanjungpinang, Riau, menjadi guru SGB di kota itu. Ia berangkat ke Tanjungpinang dengan pesawat terbang Catalina yang mampu mendarat di permukaan laut. Di dermaga, Kepala SGB menyambut kedatangannya. Ia dibawa ke sebuah hotel tempat tinggalnya selama bertugas di Tanjungpinang. Di luar dugaannya, gaji pegawai di Tanjungpinang dibayar dengan mata uang dolar, bukan rupiah. Dengan gaji dolar, hidup guru dan pegawai Pegawai Negeri Swasta (PNS) pada umumnya lebih dari cukup.Di kota inilah ia berkenalan dengan Mulyani Sumarman, guru Bahasa Inggris SMP Negeri. Hubungan pun makin lama makin erat. Menjelang tahun ketiga berada di Tanjungpinang, ia merasa sudah waktunya pindah. Ia ingin ke Jakarta. Ia ingin melanjutkan pendidikan di B.I. Jurusan Bahasa Inggris dan membangun rumah tangga dengan Mulyani. Ia mengajukan permohonan pindah, dan dikabulkan. Mulyani akan menyusul.
Pada tahun 1956, ia pindah ke Jakarta diangkat menjadi guru di SGB V Kebayoran Baru. Kemudian, mendaftarkan diri pada B.I. Jurusan Bahasa Inggris. Tanggal 2 Februari 1958 ia menikah dengan Mulyani. Kemudian Mulyani diboyong ke Jakarta setelah mengajukan permohonan pindah mengajar.
Mulyani ditempatkan di SMP 11 Kebayoran Baru yang tepat berhadapan dengan sekolahnya mengajar. Mulyani pun mendaftar diri kembali pada B.I. Jurusan Bahasa Inggris. Dengan demikian, mereka dapat pergi dan pulang dari mengajar, atau pun kuliah di B.I. bersama-sama dengan mengendarai sepeda motor. Dari perkawinan ini mereka dikarunia tiga orang anak, seorang laki-laki, dua orang perempuan, yaitu Ruri Mahmud, Rika Vitrina, dan Revina Ayu.
Setelah menyelesaikan B.I. Jurusan Bahasa Inggris tahun 1959, Mahmud dipindahkan mengajar pada SGA Jalan Setiabudi, Jakarta Selatan. SGA mendididik calon guru Sekolah Dasar. Di sini ia berkenalan dengan Bu Fat dan Bu Meinar, guru Seni Suara.
Karier mencipta lagu
Awal tahun 1962, dengan biaya Colombo Plan, ia ditugaskan kuliah di University of Sydney, Australia, guna memperoleh sertifikat mata kuliah The Teaching Of English As A Foreign Language selama satu tahun. Januari 1963 ia mendaftarkan diri pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jakarta untuk melanjutkan pendidikan sampai sarjana. Pada tahun yang sama ia dipindahtugaskan ke Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak (SGTK) di Jalan Halimun, Jakarta Selatan.Di SGTK seolah ia menemukan lahan subur untuk mengembangkan bakat musiknya, khususnya mencipta lagu anak-anak. Ia pun meninggalkan kuliah bahasa Inggris, keluar dari FKIP, dan menekuni musik.
SGTK memiliki suasana yang mendorongnya untuk menekuni dunia musik. Pimpinan sekolah sendiri senang akan musik. Guru Seni Musik pandai bermain piano dan . Siswa SGTK turut memberikan dorongan baginya untuk mengarang lagu anak-anak. Tiap kali siswa SGTK melakukan latihan praktik mengajar, ada yang memerlukan lagu dengan tema tertentu menurut tugasnya. Pada masa itu, mencari lagu anak-anak yang sesuai dengan anak-anak agak sulit. Siswa yang memerlukan lagu baru datang kepadanya meminta dibuatkan lagu. Ia pun mencoba. Lagu yang telah dibuat, diajarkan pada anak-anak TK saat praktik mengajar. Ternyata, lagu itu disukai. Hal ini membesarkan hatinya dan membuatnya makin tekun mengarang lagu anak-anak.
Di rumah pada waktu senggang, ia mencoba mengarang lagu anak-anak sambil memetik gitar miliknya. Lagu anak-anak tentu berbeda dengan lagu untuk orang dewasa. Di mana bedanya? Pada pikiran, perasaan, dan perilaku anak itu sendiri. Ia pun mempelajari lagu anak-anak yang telah ada, seperti lagu-lagu Ibu Sud, Pak Dal, dan pencipta lagu anak-anak yang lain.
Saat tinggal di Kebayoran Baru, Mahmud sering mengajak anaknya bermain ke Taman Puring. Di sana ada ayunan, jungkat-jungkit, dan lapangan yang cukup luas sehingga anak-anak dapat melakukan permainan lain, seperti main lempar bola atau kejar-kejaran. Roike yang saat itu baru berumur 5 tahun senang sekali bermain ayunan. Ia begitu menikmati permainan itu dan menjaga agar anaknya tidak sampai mengalami kecelakaan. Perasaan Roike dan pesan agar hati-hati sehingga tidak mengalami itu ia tuangkan ke dalam lagu Main Ayunan.
Inspirasi lagu Pelangi hadir ketika ia mengantar anaknya, Rika, yang masih berusia lima tahun sekolah di TK. Di tengah perjalanan, Rika berteriak, "Pelangi!" sambil menunjuk ke arah langit. Ia mulai menyanyikan pelangi, mencari kata-kata yang tepat yang menjadi pikiran anak kecil, selanjutnya ketika tiba di rumah, ia iringi dengan gitar dan jadilah sebuah lagu.
Lahirnya lagu Ambilkan Bulan terjadi ketika anaknya Roike tengah bermain di beranda rumah. Saat itulah ia melihat ke langit dan melihat bulan. Segera ia berlari dan menggandeng lengan ayahnya diajak ke luar. Tiba-tiba si anak berkata, "Pa, ambilkan bulan." Jelas saja A.T. Mahmud bingung. Awalnya kejadian itu berlalu begitu saja. Namun, permintaan si anak terus terngiang di telinganya. Minta bulan, untuk apa? Dengan mencoba menerawang dunia dan bahasa anak, A.T. Mahmud pun menuliskan permintaan itu dalam bait-bait lagu. Tadinya "ambilkan bulan pa" diubah menjadi "ambilkan bulan bu" sehingga terkesan lebih lembut.
Lain lagi dengan lagu Amelia. Amelia adalah nama seorang anak kecil yang riang, sering bertanya, tidak bisa diam, lincah, dan ingin tahu banyak hal. Amelia adalah anak dari Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru. Emil Salim tak lain adalah sahabat waktu kecil Mahmud ketika sama-sama sekolah di Sekolah Menengah Umum Bagian Pertama (SMU, setingkat SLTP), di Palembang. A.T. Mahmud melukiskan sifat Amelia dalam lagunya sebagai gadis cilik lincah nian, tak pernah sedih, riang selalu sepanjang hari.
Dorongan untuk membuat lagu datang pula dari guru-guru. Salah satunya adalah Ibu Rosna Nahar. Para siswa pun senang dengan lagu-lagu ciptaannya. Ia kemudian membentuk kelompok paduan suara siswa SPG. Lagu ciptaannya terus bertambah, dan mulai tersebar di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar terdekat, kemudian melebar di sekolah-sekolah lain. Radio Repulik Indonesia (RRI) memintanya membantu mengisi acara anak-anak pada sore hari, dengan memperkenalkan lagu lama maupun baru. Kesempatan ini ia pergunakan untuk memperkenalkan lagu ciptaannya sendiri.
Pelan tapi mantap, lagu-lagunya mulai dikenal di kalangan anak-anak, guru sekolah, dan orang tua. Tahun 1968, Televisi Republik Indonesia (TVRI) mengundangnya. Salah seorang pejabat di sana menjelaskan bahwa TVRI ingin menyelenggarakan sebuah acara baru, yaitu musik anak-anak tingkat SD. Ia diminta untuk mengoordinasi acara ini. Akhirnya jadilah sebuah acara bertajuk Ayo Menyanyi yang mulai mengudara tanggal 3 Juni 1968.
Sumber lagu umumnya diambil dari lagu-lagu ciptaan, antara lain: Ibu Sud, Pak Dal, Pak Tono, S.M. Moechtar, Kasim St. M. Syah, A.E. Wairata, S. Anjar Sumyana, C. Tuwuh, Martono, Andana Kusuma, Angkama Setiadipradja, Pak Sut, Pak Rat, Kusbini, Daeng Soetigna, Hs. Mutahar, L. Manik, M.P. Siagian, A. Simanjuntak, R.C. Hardjosubrata, Sancaya HR, dan Mus K. Wirya.
Dari lagu-lagu yang dikirimkan, dan masih dikenal, antara lain: Terima Kasihku oleh Sri Widodo dari Yogyakarta, Bunga Nusa Indah oleh Djoko Sutrisno, dan Anugerah oleh Indra Budi (putra Bu Meinar). Ayo Menyanyi telah menjadi salah satu wadah bagi mereka yang berminat untuk membuat lagu anak-anak, pendidikan musik anak-anak khususnya. Bertanggal April 1968, ia menerima sebuah lagu dari Mochtar Embut, berjudul Ibu Guru Kami, yang kemudian disiarkan di TVRI.
Atas usul A.T. Mahmud, tahun 1969 TVRI menambah acara lagu anak yaitu Lagu Pilihanku. Jika Ayo Menyanyi berbentuk pelajaran untuk menyanyikan lagu baru, maka Lagu Pilihanku bersifat lomba. Jumlah peserta lima orang yang dipilih melalui tes. Untuk testing, calon peserta harus melapor diri pada Kepala Sub Bagian Pendidikan, yang kemudian akan memperoleh Surat Peserta Testing. Testing dilakukan oleh dua orang yang ditunjuk koordinator acara, berlangsung di studio TVRI. Acara ini ditayangkan dua kali sebulan, bergantian setiap seminggu sekali dengan Ayo Menyanyi.
Setelah kedua acara di atas berlanjut dan berkesinambungan selama 20 tahun, pada tahun 1988, atas suatu kebijaksanaan pimpinan TVRI, seluruh tim diminta mundur dari kedua acara tersebut. Untuk beberapa saat acara Ayo Menyanyi dengan nama lain dilanjutkan dengan pembawa acara seorang artis, yang berlangsung tidak lama. Kemudian, pembawa acara digantikan seorang artis lain. Itu pun hanya bertahan sebentar, kemudian untuk seterusnya menghilang sama sekali dari tayangan di layar TVRI.
Kehadiran acara Ayo Menyanyi dan Lagu Pilihanku, ternyata telah menarik minat kalangan perusahaan rekaman untuk merekam lagu anak-anak pada piringan hitam. Tercatat nama perusahaan rekaman, seperti: Remaco, Elshinta, Bali, Canary Records, Fornada, J&B Records. Lagu-lagu ciptaan A.T. Mahmud pun mendapat perhatian. Di samping lagu-lagu ciptaan pencipta lainnya, ada sekitar 40-an lagu A.T. Mahmud tersebar pada tujuh piringan hitam antara tahun 1969, 1972, dan tahun-tahun sesudah itu, yakni:
Mulailah ia mencari buku-buku referensi. Dari beberapa buku Islami yang dibaca, ia mulai mempelajari tentang seni Islam, musik Islami, atau lagu Islami. Ia menemukan jawaban pada buku yang ditulis M. Quraish Shihab Wawasan Al-Quran, bagian keempat: "Wawasan Al-Quran tentang Aspek-Aspek Kegiatan Manusia" subbab Seni halaman 398.
"... seni Islam adalah ekspresi tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantarkan menuju pertemuan sempurna antara kebenaran dan keindahan ...menggambarkan hubungan ...dengan hakikat mutlak, yaitu Allah SWT. ...dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang jati diri manusia, menggambarkan akibat baik dan buruk dari suatu pengamalan ..."
Pengertian ini dianggapnya sejalan dengan rumusan yang dikutip dari bacaan lain, berbunyi: " (musik islami) bermaksud dan bertujuan untuk meningkatkan daya pikir dan rasa dalam kaitan gagasan dan pendidikan akhlak, dengan cakupan dua aspek, yaitu a) akhlak terhadap Allah, dan b) akhlak terhadap sesama manusia."
Dalam pengertian inilah kemudian ia menciptakan lagu-lagu Islami, dengan cara menerjemahkannya menurut dan sesuai dengan karakteristik anak yang sedang tumbuh dan berkembang menuju kedewasaannya.
A.T. Mahmud pun memikirkan untuk menghimpun semua lagu yang diciptakan dalam bentuk buku. Ia pernah mencetak sendiri, dengan biaya sendiri, dan penyebaran sendiri melalui sekolah langsung, yang menghasilkan dua buku kumpulan lagu yaitu Lagu Anak-Anak Kami Menyanyi (44 lagu) disusun pada tahun 1969 dan Lagu Anak-Anak Main Ayunan (30 lagu) pada tahun 1970.
Penerbit PT Sinar Bandung mencetak lagu-lagunya berjudul Nyanyianku (30 lagu yang pada umumnya berbeda dengan lagu pada Main Ayunan, tahun penerbitan tidak ada. Tahun 1976, I. Elisa dari Bandung menerbitkan sendiri 8 lagu cipaannya dalam gubahan untuk iringan piano, dengan judul Lagu Anak-Anak. Penerbit Yudhistira Jakarta menerbitkan tiga kumpulan lagu berturut-turut, masing-masing dengan judul Merdu Berlagu dalam 4 jilid (tahun penerbitan tidak tercantum).
Ternyata, penerbit besar pun ikut tertarik menerbitkan buku lagu-lagu anak. Di antara penerbit yang menerbitkan buku kumpulan lagu-lagu adalah Balai Pustaka, Tiga Serangkai Solo, Gramedia, Grasindo. Grasindo pun menerbitkan nyanyian Islami berjudul Mustiqa Dzikir Nyanyian Islami Berdasarkan Hadis Rasulullah.
Selain mencipta lagu, A.T. Mahmud pun sempat menulis beberapa buku, terutama sebagai anggota tim. Hal itu terjadi ketika menjadi anggota tim penulis untuk buku musik SPG pada Proyek Penyedian Buku Sekolah Guru Tahun ke-5 Pembangunan Lima Tahun I 1973/1974. Sejumlah buku yang ditugaskan pada timnya adalah Buku Musik 1, 2, 3, dan 4 untuk SPG. Selanjutnya, ia bersama Bu Fat menulis buku pelajaran musik Musik di Sekolah Kami Belajar Seni Musik Aktif dan Kreatif untuk Sekolah Dasar yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1994.
Tahun 1995 ia menulis buku Musik dan Anak atas permintaan Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan 1994/1995 Direktorat Jenderal Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekitar bulan Oktober 1999, Seli (Seli Theorupun Pontoh) dari Sony Music bertamu ke rumahnya. Dia datang bersama Dian Hadipranowo yang ternyata pernah menjadi guru piano cucunya, Sasti. Seli menjelaskan maksud kedatangan mereka, pertama ingin berkenalan dengan A.T. Mahmud, kedua, Sony Music bermaksud meluncurkan album perdana lagu anak-anak dengan label Sony Wonder.
Saat itu dirasakan bahwa lagu anak-anak yang ada di pasaran pada umumnya lagu-lagu yang agak "lain", berbeda dengan lagu anak-anak yang pernah diciptakan seperti oleh A.T. Mahmud, Ibu Sud, atau Pak Kasur. Sony Music ingin memunculkan kembali lagu anak-anak yang dahulu akrab di telinga anak-anak Indonesia. Mereka yakin, di kalangan orang tua pada umumnya ada rasa kerinduan akan lagu-lagu semacam itu.
A.T. Mahmud terkejut dengan apa yang disampaikan. Ia sangat senang lagu-lagu karyanya diperhatikan. Segera ia serahkan sejumlah koleksi lagu-lagu yang kebetulan telah difotokopi dari naskah asli. Menjelang bulan Mei 2000, Sony Music telah memilih 15 lagu dengan penyanyi Shafa Tasya Kamila (Tasya), dan penata musik Dian Hadipranowo.
Pada 4 Mei 2000 lagu-lagu yang terpilih dengan label Sony Wonder berjudul Libur Telah Tiba dengan subjudul Karya Abadi A.T. Mahmud diedarkan. Atas keberhasilan album ini, selalu ia katakan pada diri sendiri, keberhasilan album itu bukanlah semata karena lagu A.T. Mahmud. Setidaknya ada tiga unsur yang terlibat, saling mendukung, yaitu, lagu, Tasya sebagai penyanyi anak, dan tatanan musik Dian, dalam kesatuan utuh. Tak kalah penting adalah "keberanian" Sony Music memunculkan kembali lagu-lagu lama yang sudah puluhan tahun umurnya dalam satu kaset.
Setahun kemudian tanggal 5 Juni 2001 Sony Wonder mengedarkan album kedua dengan semua lagu ciptaannya berjudul Gembira Berkumpul. Kembali sambutan masyarakat akan album ini tidak mengecewakan. Kemudian 18 Oktober 2001, menjelang bulan Ramadhan 1422 H, Sony Wonder meluncurkan album Ketupat Lebaran yang memuat 11 lagu Islami. Tiga di antara lagu itu, liriknya ditulis oleh Ni Luh Dewi Chandrawati, yakni Ketupat Lebaran, Sahur Telah Tiba, dan Tanganku Ada Dua. Dua lagu diambil dari lagu lama yang tidak dikenal nama penciptanya.
Atas prestasinya di bidang musik, A.T. Mahmud telah banyak menerima penghargaan. Empat penghargaan terakhir adalah bulan Oktober 1999, menerima Hadiah Seni dari Pemerintah, yang diserahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Juwono Sudarsono. Inilah hadiah seni pertama yang diterimanya dari Pemerintah dalam suatu upacara resmi.
Februari tahun 2001, pada saat peluncuran film Visi Anak Bangsa karya Garin Nugroho, bertempat di gedung Teater Indonesia Taman Mini Indonesia Indah, menerima penghargaan dalam bentuk daun lontar yang diserahkan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Di atas daun lontar tertulis: "Untuk yang mencipta melintasi keberagaman budaya memberi keindahan dan kemuliaan keberagaman hidup."
Mei 2001 bertempat di Golden Room Hotel Hilton, diprakarsai dan melalui Yayasan Genta Sriwijaya, ia menerima penghargaan berupa trofi dari masyarakat Sumatera bagian Selatan, bersama-sama dengan tiga orang tokoh yang lain.
Pada Agustus 2003, ia pun menerima Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI (Keppres No.052 /TK/Tahun 2003 Tanggal 12 Agustus 2003).
Satu bulan kemudian, Anugerah Musik Indonesia (AMI) memberikan penghargaan berupa Lifetime Achievement Award kepadanya atas sumbangsihnya terhadap dunia musik.
Namun, di samping penghargaan formal itu, ada bentuk penghargaan lain yang informal, tetapi sangat menyentuh hati, menimbulkan rasa haru yang mendalam, yaitu penghargaan dari guru, berbentuk lagu. Lagu pertama, pada tahun 1982, ketika terlibat pada proyek peningkatan mutu guru SPG tingkat Nasional yang diselenggarakan di Puncak. Bertepatan pada hari ulang tahunnya, tanggal 3 Februari 1982, Siti Romlah, salah seorang peserta dari Yogyakarta, menghadiahkan sebuah lagu ciptaannya sendiri, berjudul Di Hari Ulang Tahunmu, Papa.
Lagu kedua ketika menjadi salah seorang penatar pada Pendidikan dan Pelatihan Instruktur Tingkat Dasar Guru Taman Kanak-Kanak Atraktif, Pusat Pengembangan Penataran Guru Keguruan Jakarta yang diselenggarakan di Parung, Bogor, bertempat di gedung PPPG Bahasa tahun 1999, dengan peserta para guru pembina Taman Kanak-Kanak se-Indonesia. Pada saat minta diri, para peserta memintanya untuk mendengarkan sebuah lagu yang telah diciptakan sebagai kenang-kenangan. Lagu dibuat oleh Renni Kusnaeni dari TK Pembina Subang, Jawa Barat, dan syair oleh Munifah dari TK Pembina Lamongan, Jawa Timur. Naskah lagu ini bertanggal 23 Juli 1999. Seluruh peserta yang sudah dilatih malam sebelumnya bernyanyi bersama.
Setiap kali mendengar lagu ciptaannya dinyanyikan, yang pertama-tama terbayang adalah peristiwa atau cerita bagaimana lagu itu tercipta dalam ruang, waktu, dan pelaku yang melatari. Atas dasar itu pulalah dikatakan bahwa lagu ciptaannya bersumber pada tiga hal, yang berdiri sendiri atau saling memengaruhi. Pertama: bersumber pada perilaku anak itu sendiri. Kedua: pada pengalaman masa kecilnya. Ketiga: pesan pendidikan yang ingin ia sampaikan pada anak-anak.
Kehidupan pribadi
A.T. Mahmud menikah dengan Mulyani Sumarman (kelahiran Sambu 26 Februari 1934) di Surabaya pada tanggal 2 Februari 1958. Dari pernikahannya dia mempunyai tiga orang anak, yaitu Ruri Mahmud (lahir di Jakarta 23 Februari 1959), Rika Vitrina (Jakarta 1 Oktober 1960), dan Revina Ayu (lahir di Jakarta 13 April 1974).Pendidikan
Formal
- Hollandsch-Inlandsche School / SD (1944)
- SMU Bagian Pertama / SMP (1950)
- Sekolah Guru bagian A / SGA (1953)
- Bahasa Inggris FKIP (1959)
- Sarjana Muda / Diploma (1964)
Informal
- The Teaching of English As a Foreign Language (Australia) - Desember 1961 sampai Desember 1962
- PATA (Jakarta) - November sampai Desember 1979
- SPAFA "Further Development for Trainer Teachers of the Arts in Schools" (Loka karya di Filipina) - Mei 1985
Karya tulis / musik
- Pencipta lagu anak-anak untuk anak usia Pendidikan Dasar.
- Buku Pelajaran Musik:
- Anggota tim penulis Buku Musik 1,2,3, dan 4 untuk Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun Proyek 1973/1974 dan 1974/1975.
- Anggota tim penulis Buku Seni Musik untuk KPG Proyek Pembinaan KPG/PGSMTP
- Penulis Musik Anak atas permintaan Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan 1994/1995 Direktorat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Penghargaan
- Menerima Piagam Hadiah Seni atas Keputusan Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI - 11 Oktober 1999.
- Anugerah Pendidikan Seni oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta - 27 Juni 2003 (Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta ke-39).
- Menerima Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Megawati Soekarnoputri - 14 Agustus 2003.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_Totong_Mahmud
Kerajaan Tarumanagara
|
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M.
Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang
meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan
artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu
Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Sumber Sejarah
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak
ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama
kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan
sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman
pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam
Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah
Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.
Prasasti yang ditemukan
- Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
- Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
- Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
- Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
- Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
- Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
- Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan
datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun.
Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara.
Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan,
dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak
di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur
sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi.
Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang
dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada
awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang
mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih
melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi
bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak
jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu
kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
- ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
- Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan
"angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti
tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
- vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
- Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang
menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda
tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung
itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada
masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah)
Pasir Muhara.
Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
- jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
- Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara
Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i
Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama
Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga,
bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di
atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman
berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada
prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di
antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya.
Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai
"huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang.
Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada
yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau
kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari
Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah)
sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya
sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang
terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti
batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak,
Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir
(sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan
diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
- shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
- Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
Sumber berita dari luar negeri
Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.
- Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang sekarang terletak di taman purbakala Pugung Raharjo, meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa hien
- Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.
- Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.
Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M.
Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah
pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
Kepurbakalaan Masa Tarumanagara
No. | Nama Situs | Artepak | Keterangan |
---|---|---|---|
1 | Kampung Muara | Menhir (3) | |
Batu dakon (2) | |||
Arca batu tidak berkepala | |||
Struktur Batu kali | |||
Kuburan (tua) | |||
2 | Ciampea | Arca gajah (batu) | Rusak berat |
3 | Gunung Cibodas | Arca | Terbuat dari batu kapur |
3 arca duduk | |||
arca raksasa | |||
arca (?) | Fragmen | ||
Arca dewa | |||
Arca dwarapala | |||
Arca brahma | Duduk diatas angsa (Wahana Hamsa) dilengkapi padmasana |
||
Arca (berdiri) | Fragmen kaki dan lapik | ||
(Kartikeya?) | |||
Arca singa (perunggu) | Mus.Nas.no.771 | ||
4 | Tanjung Barat | Arca siwa (duduk) perunggu | Mus.Nas.no.514a |
5 | Tanjungpriok | Arca Durga-Kali Batu granit | Mus.Nas. no.296a |
6 | Tidak diketahui | Arca Rajaresi | Mus.Nas.no.6363 |
7 | Cilincing | sejumlah besar pecahan | settlement pattern |
8 | Buni | perhiasan emas dalam periuk | settlement pattern |
Tempayan | |||
Beliung | |||
Logam perunggu | |||
Logam besi | |||
Gelang kaca | |||
Manik-manik batu dan kaca | |||
Tulang belulang manusia | |||
Sejumlah besar gerabah bentuk wadah | |||
9 | Batujaya (Karawang) | Unur (hunyur) sruktur bata | Percandian |
Segaran I | |||
Segaran II | |||
Segaran III | |||
Segaran IV | |||
Segaran V | |||
Segaran VI | |||
Talagajaya I | |||
Talagajaya II | |||
Talagajaya III | |||
Talagajaya IV | |||
Talagajaya V | |||
Talagajaya VI | |||
Talagajaya VII | |||
10 | Cibuaya | Arca Wisnu I | |
Arca Wisnu II | |||
Arca Wisnu III | |||
Lmah Duwur Wadon | Candi I | ||
Lmah Duwur Lanang | Candi II | ||
Pipisan batu |
Naskah Wangsakerta
Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta.
Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang
meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.
Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian
pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun
tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 -
561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1
(halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan
Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang
menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah
atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka
Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara
mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya
menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut.
Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian
pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu
merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang
termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan
keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya.
Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya
mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3
(halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman
terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau
Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga
(sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali
Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat
pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja
Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah
berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat
pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa
dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak),
yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai
tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari
Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara,
maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.
Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman
VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang
mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan
Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang
memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus
pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah
bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu
Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara
Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama
kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan
Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang
ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja.
Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan
menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri,
yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang
kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa
pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan
Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu
Tarusbawa.
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada
Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke
kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
No | Raja | Masa pemerintahan |
---|---|---|
1 | Jayasingawarman | 358-382 |
2 | Dharmayawarman | 382-395 |
3 | Purnawarman | 395-434 |
4 | Wisnuwarman | 434-455 |
5 | Indrawarman | 455-515 |
6 | Candrawarman | 515-535 |
7 | Suryawarman | 535-561 |
8 | Kertawarman | 561-628 |
9 | Sudhawarman | 628-639 |
10 | Hariwangsawarman | 639-640 |
11 | Nagajayawarman | 640-666 |
12 | Linggawarman | 666-669 |
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tarumanagara
Wage Rudolf Soepratman
ads not by this site
Lahir | 9 Maret 1903 Jatinegara, Batavia, Hindia Belanda |
|
---|---|---|
Meninggal | 17 Agustus 1938 (umur 35) Surabaya, Hindia Belanda |
|
Kebangsaan | Hindia Belanda |
Wage Rudolf Supratman (lahir di Jatinegara, Batavia, 9 Maret 1903 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun) adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya" dan pahlawan nasional Indonesia.
Kehidupan pribadi
Ayahnya bernama Senen, sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman
berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah satunya bernama
Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita.
Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta.
Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak
bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap
penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik.
W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak pernah mengangkat anak.
Indonesia Raya
Sewaktu tinggal di Makassar,
Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem
van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah
lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah
karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli
musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kondisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito).
Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya
dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya.
Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila
partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya
selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan
kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu
kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage
Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana
kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Kontroversi tempat dan tanggal lahir
Hari kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati Soekarnoputri
saat menjadi presiden RI, diresmikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun
tanggal kelahiran ini sebenarnya masih diperdebatkan, karena ada
pendapat yang menyatakan Soepratman dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat ini – selain didukung keluarga Soepratman – dikuatkan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.
Nurtanio Pringgoadisuryo
ads not by this site
Nurtanio Pringgoadisuryo (lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, 3 Desember 1923 – meninggal 21 Maret 1966 pada umur 42 tahun adalah sebagai perintis industri penerbangan Indonesia. Bersama Wiweko Soepono, Nurtanio membuat pesawat layang Zogling NWG (Nurtanio-Wiweko-Glider) pada tahun 1947. Ia membuat pesawat pertama all metal dan fighter Indonesia yang dinamai Sikumbang, disusul dengan Kunang-kunang (mesin VW) dan Belalang, dan Gelatik (aslinya Wilga) serta mempersiapkan produksi F-27.
Cita-citanya besar, keliling dunia dengan pesawat terbang buatan bangsanya. Untuk itu, disiapkanya pesawat Arev (Api Revolusi), dari bekas rongsokan Super Aero buatan Cekoslowakia yang tergeletak di Kemayoran.
Karena dedikasinya yang tinggi, setelah Nurtanio gugur dalam
penerbangan uji coba Arev, namanya diabadikan menjadi Industri Pesawat
Terbang Nurtanio (sekarang IPT-Nusantara/IPTN/PT Dirgantara Indonesia).
Cita-cita dan keinginan serta kecintaannnya akan dunia kedirgantaraan sudah dia awali sejak masa Hindia Belanda. Nurtanio pada saat itu berlangganan majalah kedirgintaraan Vliegwereld,
dan menekuni masalah aerodinamika dan aeromodelling. Pada masa itu,
Nurtanio sering mengadakan surat menyurat dan korespondensi dengan
sesama pencinta Aeromodelling pada zaman Hindia Belanda. Diantaranya
adalah Wiweko Soepono yang saat itu sudah mendirikan perkumpulan pencinta Aeromodelling serta berlangganan majalah Vliegwereld.
Junior Aero Club
Pada masa pendudukan Jepang, di sekolah menengah tinggi teknik atau Kogyo Senmon Gakko,
Nurtanio mendirikan perkumpulan Junior Aero Club yang isinya tentang
bagaimana teknik pembuatan pesawat model yang merupakan dasar-dasar Aerodinamika. Karena pada masa pendudukan Jepang penggunaan bahasa Inggris
dilarang, maka untuk menghidari kecurigaan ditempaknya dua orang
pengawas berkebangsaan Jepang di antaranya adalah Tuan Imazawa.
Disinilah Nurtanio berkenalan dan bertemu dengan R.J Salatun,
yang juga berminat dalam masalah penerbangan dan kebetulan berlangganan
majalah kedirgantaraan yang sama yakni Vliegwereld. Pada saat itu
peserta dibatasi karena para pesertanya yang sebelumnya membludak, jadi
hanya tinggal sedikit.
Di JAC, Nurtanio dan sahabatnya, R.J Salatun, juga bertemu dengan guru olahraga yang bernama Iswahyudi yang juga memiliki pengetahuan dalam masalah penerbangan, yang ketika perang dunia II pecah, sedang mengikuti pendidikan penerbang militer Belanda yang kemudian diungsikan ke Australia.
Perhatian Nurtanio pada masa itu tidak hanya dalam masalah pesawat
model tetapi bahkan menekuni buku-buku teknik penerbangan yang saat itu
banyak berbahasa Jerman serta sudah menekuni dan menggambar rancangan glider atau pesawat layang type Zogling yang merupakan obsesinya.
Masa kemerdekaan Republik Indonesia
Pada awal kemerdekaan Indonesia, Nurtanio bergabung dengan Angkatan Udara di Yogyakarta yang dipimpin oleh Suryadi Suryadarma
yang pada masa itu disebut dengan TKR Jawatan Penerbangan. Nurtanio
mencari R.J Salatun untuk bergabung juga dengan TKR Jawatan Penerbangan.
Disana, juga bergabung Prof. Ir. Rooseno dan Wiweko Soepono.
Nurtanio kemudian diberi jabatan Sub Bagian Rencana di bagian Kepala
Bagian Rencana dan Penerangan (semula dinamakan Propaganda namun diganti
karena berkesan seperti Bagian Propaganda Nazi yang dijabat oleh sahabat Adolf Hitler, Joseph Gobbels)
yang dijabat oleh Wiweko Soepono sedangkan R.J Salatun mendapat jabatan
bagian penerangan. Ketiga orang ini yang kemudian disebut sebut sebagai
tiga serangkai perintis kedirgantaraan Indonesia tersebut kemudian
melaksanakan tugasnya antara lain mendesain tata kepangkatan Angkatan
Udara yang dibantu oleh Halim Perdanakusuma
yang pernah berdinas di Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air
Force/RAF) dan persiapan-persiapan lainnya. Sedangkan Nurtanio langsung
mendesain glidernya.
Kemudian Suryadarma memindahkan koleksi buku-buku militer dan
penerbangannya ke kantor yang menjadikannya sebagai perpustakaan
Angkatan Udara yang pertama, yang sering hadir di perpustakaan itu
adalah Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh.
Nurtanio akhirnya berhasil menyelesaikan rancangan glidernya, ia kemudian bersama Wiweko Soepono pindah ke Maospati karena lebih lengkap fasilitasnya dibandingkan di Maguwo, Yogyakarta.
Pesawat Glider NWG-1
Setelah pindah ke Maospati, Nurtanio berhasil membuat beberapa glider
yang dinamakan NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider). Pesawat ini adalah
pesawat satu-satunya buatan Indonesia dengan kandungan lokal hingga 100
persen hingga hari ini. Dibuat dari kayu jamuju yang dicari di daerah Tretes
untuk mengganti kayu spruce, sayap dibalut dengan kain blaco pengganti
kain linen dan kemudian diolesi bubur cingur pengganti thinner. Pesawat
Glider ini kemudian digunakan untuk melatih kadet-kadet penerbang yang
akan dikirim ke India guna pendidikan penerbang lebih lanjut.
Sekitar tahun 1948, Nurtanio kemudian ditugaskan ke Manila, Filipina
untuk melanjutkan studi kedirgantaraannya di FEATI (Far Eatern Aero
Technical Insitute). Sebagai bekal hidup, Nurtanio membawa kerajinan perak Yogyakarta yang ternyata susah untuk dijual. kemudian setelah selesaidi tugaskan ke manila,dia kembali ke indonesia.
Sikumbang
Pada masa selesainya perang kemerdekaan (sekitar tahun 1950),
Nurtanio berhasil merancang dan membuat pesawat Sikumbang yang merupakan
pesawat all metal pertama Indonesia itu. Nurtanio kemudian berencana menerbangkan ke daerah Sekaten, Yogyakarta dari Bandung.
Sahabatnya R.J Salatun mempunyai firasat buruk tentang penerbangan itu
dan berniat membatalkannya. Karena dia punya akses langsung kepada
Kepala Staf Angkatan Udara Suryadarma, Salatun memberikan argumen kepada
Suryadarma agar membatalkan rencana penerbangan Nurtanio ke Yogyakarta
dengan alasan Nurtanio adalah satu-satunya kostruktur penerbangan yang
dimiliki Angkatan Udara. Suryadarma setuju dengan alasan Salatun dan
memerintahkan stafnya untuk memberikan radiogram pembatalan rencana
penerbangan ke Yogyakarta. Untuk mengobati rasa kesalnya, Nurtanio
menerbangkan pesawat Sikumbang itu keliling udara Bandung di sekitar
Lanud Husein Sastranegara.
Tidak lama kemudian pesawat itu didaratkan di Lanud Husein karena
mengalami gangguan berupa mesinnya mati. Nurtanio mengambil kesimpulan
seandainya dia melakukan penerbangan ke Yogyakarta, maka dia harus
mendarat darurat di daerah rawan yang masih dikuasai DI/ TII karena mengalami mesin mati.
Pada saat itu, Indonesia menerima berbagai macam pesawat dan
peralatan perang dari Belanda sebagai pelaksanaan pengakuan kedaulatan
yang merupakan buah dari Konfrensi Meja Bundar. Untuk Angkatan Udara, Indonesia menerima berbagai pesawat di antaranya P-51 Mustang, Pembom sedang/ringan B-25 Mitchell dan pesawat angkut DC-3 Dakota. Pesawat-pesawat itu masih berwarna metal aluminium
karena tidak diberi cat kamuflase. Alasan Nurtanio adalah pesawat itu
permukaannya menjadi lebih licin sehingga mengurangi hambatan (drag).
Namun kemudian muncullah gejala politik kurang baik yang diwarnai
pembentukan dewan-dewan daerah oleh pimpinan wilayah politik dan
pimpinan wilayah angkatan perang (yang dijuluki warlord) sebagai
protes akibat kebijakan pemerintah pusat yang secara ekstrem dapat
menjurus kearah disintegrasi. Bila kemungkinan itu terjadi, maka
Angkatan Perang Indonesia khususnya Angkatan Udara Republik Indonesia
akan dibuat repot.
Untuk mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk, R.J Salatun
yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan Penerbangan merangkap Sekretaris
Gabungan Kepala-Kepala Staf memberi masukan kepada KSAU Suryadarma untuk
mulai memberi kamuflase kepada pesawat-pesawat AURI selagi PO
(periodiek overhaul). Dengan demikian jika terjadi konflik, AURI tidak
akan kerepotan. Nurtanio kecewa dan bertanya hal itu untuk apa. Tidak
lama kemudian ketika AURI jadi ujungtombak penumpasan PRRI/Permesta, seluruh armada udaranya sudah diberi kamuflase.
Pesawat Gelatik dan merintis Aeroindustri
Pada masa Menteri Keamanan Nasional dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution dan deputinya Jendral Hidayat, Nurtanio memperoleh kredit dari Polandia
sebesar (atau sekecil) 1,5 juta dollar Amerika Serikat untuk Depot
Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan AURI menjadi LAPIP (Lembaga
Persiapan Industri Penerbangan yang merupakan cikal bakal IPTN
nantinya). Caranya, dengan alih teknologi produksi melalui perakitan
pesawat pertanian PZL-104 Wilga yang dinamai Gelatik oleh Presiden Soekarno.
Dalam mengajukan proposalnya, Jenderal Nasution maupun Jenderal Hidayat
sangat terkesan oleh sifat Nurtanio yang begitu realistis dan tidak
muluk-muluk.
Menurut Ir. Hoo Kian Lam (pemilik pesawat terbang Walraven W-2 PK-KKH dan pernah berusaha mendirikan industri penerbangan pada masa Hindia-Belanda), yang ikut serta dalam kunjungan ke pabrik PZL di Warsawa, Nurtanio yang memimpin delegasi menerbangkan sendiri pesawat Wilga hingga sangat mengesankan bagi pejabat-pejabat Polandia.
Namun ketika usulan R.J Salatun berdasarkan pengalamannya pada tahun 1958 ketika ditawari Perdana Menteri RRC, Chou-en Lai untuk memproduksi pesawat jet Type 56 (lisensi MiG-17
versi China), Nurtanio berkata bahwa untuk proyek Gelatik yang begitu
membumi saja dukungan dana dan pembiayaannya sudah tersendat-sendat.
Ketika proyek Wilga/Gelatik berjalan, Nurtanio mengeluhkan kondisi
sosial ekonomi para karyawannya yang membuat kaget orang Polandia.
Sampai satu kali mereka perhatikan, kenapa semua karyawan meninggalkan
pekerjaannya. Ternyata sedang mengantri minyak tanah.
Namun sejarah mencatat, bahwa SDM yang dididik di perakitan pesawat
Gelatik berperan besar saat Lapip menjadi Lipnur (Lembaga Industri
Penerbangan Nurtanio) yang merupakan modal dasar IPTN pada tahap
permulaan. Pada dasawarsa 70-an, Marsekal TNI (purn) Ashadi Tjahjadi ( mantan Kepala Staff Angkatan Udara/KSAU) melihat jig
(cetakan untuk produksi) pesawat Gelatik yang diterlantarkan di udara
terbuka di halaman Lipnur. Ashadi berniat memanfaatkan lagi untuk suatu
usaha bagi para purnawirawan AURI (TNI-AU) berupa major overhaul pesawat
-pesawat Gelatik. Alangkah mengecewakan ketika gagasan itu ditolak oleh
B.J. Habibie dengan alasan itu termasuk aset perusahaan.
Selain kegiatannya di LAPIP, Nurtanio bersama staf dan penerbang AURI
juga aktif dalam memantau kesiapan teknis armada-armada udara yang
dimiliki AURI saat itu. Diantaranya adalah kelemahan pada pesawat tempur
MiG-19 Farmer
versi awal yang dioperasikan AURI yang selalu memberikan indikasi
adanya kesalahan saat digunakan meski pesawat ini memberikan keselamatan
dan keamanan dengan penggunaan mesin ganda. Setelah terjadi pembicaraan
antara R.J Salatun, Nurtanio dan Leo Wattimena (salah seorang penerbang legendaris AURI selain Rusmin Nuryadin), kesalahan itu terletak pada tongkat kemudinya (stick force) yang selalu berubah-ubah (tidak stabil). Sebenarnya KSAU Suryadarma menolak menerima pesawat itu namun Deputi KSAU Uni Soviet Marsekal Rudenko dalam perundingan di Kremlin dimana R.J Salatun ikut hadir, mengancam bahwa dua skadron (sekitar 24 pesawat) pesawat tempur MiG-21 Fishbed tidak dapat diberikan kecuali Indonesia mau menerima 10 pesawat tempur MiG-19 Farmer. Pesawat MiG-19 ini kemudian pada awal orde baru dijual ke Pakistan.
Tahun 1964, AURI menjalin kerjasama dengan Insitut Teknologi Bandung dan Pindad
untuk mengembangkan roket di bawah proyek "PRIMA" (Proyek Pengembangan
Roket Ilmiah dan Militer Awal) yang dipimpin Budiardjo dan R.J Salatun.
Hasil kongkritnya adalah terciptanya Roket Ilmiah Kartika I yang merupakan roket sounding kedua di negara Asia-Afrika saat itu, sesudah Jepang. Alat telemetrinya yang kedua sesudah India, berhasil merekam sinyal-sinyal dari satelit cuaca TIROS dengan alat buatan dalam negeri. Pada waktu roket Kartika sedang didesain, para sarjana dan teknisi LAPIP ikut dikerahkan.
Sekitar pertengahan tahun 1965, didirikan KOPELAPIP yang bertujuan membuat pesawat Fokker F -27.
Pilihan atas F -27 dapat dimengerti, karena pasarnya besar meskipun
pabrik Fokker rupa -rupanya menganggap bahwa pesawat itu sudah melewati
puncak produksinya sehingga yakin akan mengalami penurunan. F-27 secara
operasional merupakan pesawat yang handal, meskipun jika diperhatikan
dari teknik produksi bagi industri penerbangan pemula semacam KOPELAPIP
di Indonesia pada masa itu sangat terlalu maju yakni teknik pembuatannya
tidak pakai paku keling tetapi dengan merekatkan lempengan-lempengan
aluminium (metal bonding).
Proyek itu merupakan suatu langkah maju yang ambisius mengingat
investasi di bidang industri penerbangan sangat minim. Pengambil
keputusan yang tertinggi tidak ayal lagi tergiur oleh cara pendanaan
proyek yang mengandalkan hasil ekspor komoditi lemah seperti kumis kucing atau kayu manis.
KOPELAPIP dipimpin seorang menteri. Pengurusnya terdiri dari
orang-orang yang (maaf), sebelumnya tidak pernah terdengar ada kaitannya
dengan pembuatan pesawat terbang atau kedirgantaraan. Sahabatnya, R.J
Salatun tidak tega menanyakan kepada Nurtanio tentang KOPELAPIP karena
setelah berjerih-payah puluhan tahun dalam merintis industri
kedirgantaraan di Indonesia dari nol, sekali tempo ada jabatan menteri,
ternyata bukan diberikan kepadanya. Kemudian terdengar kabar bahwa
bertentangan dengan gagasan semula tentang cara pendanaan dengan
komoditi lemah, sang menteri minta izin ekspor minyak bumi.
Akibat meletusnya G-30S/PKI
dan pergantian pemerintahan, maka KOPELAPIP mengalami kegagalan. Bahkan
kemudian hal itu membawa keuntungan bagi pabrik Fokker, larisnya pesawat turboprop Fokker F-27 yakni timbulnya krisis energi terutama minyak bumi akibat konflik di Timur Tengah karena pecahnya Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur,
yang membuat pasaran pesawat turboprop yang dikenal hemat bahan bakar
melonjak disamping munculnya seorang salesman berbangsa Inggris yang
ulung telah mendongkrak pemasaran pesawat F -27 hingga menjadi paling
laris di antara produk-produk Fokker.
Akhir pengabdiannya
Nurtanio tetaplah seorang Nurtanio, dari seorang aero-modeller hingga
menjadi pejabat resmi yang memimpin LAPIP. Pekerja keras, tidak banyak
omong (bombastis), rendah hati, sopan santun, serta bekerja dengan serba
apa adanya dengan biaya rendah (low cost). Pesawat-pesawat yang
diciptakannya memanfaatkan komponen dan suku cadang yang ditemukan di
berbagai gudang yang tak terpakai. Gaya pendekatan yang serba rasional,
tidak muluk-muluk dan sangat membumi, sesuai dengan kondisi Indonesia
yang sejak awal kemerdekaan dianggap praktis tidak pernah ideal hingga
sulit menciptakan kontinuitas dan konsistenitas. Tetapi gaya Nurtanio
yang realistis juga, yang menyebabkan dirinya kurang dihargai karena
dianggap tidak bisa mengikuti arus megalomania.
Nurtanio banyak pengalaman, baik sebagai penerbang maupun pejabat
yang bertanggung jawab atas pemeliharaan seluruh armada udara AURI
selama tahun-tahun sulit. Ia pernah menceritakan suatu paradoks yakni
ketika anggaran untuk security dan prosperity masih serasi, industri lokal mampu menghasilkan rubber hose
untuk pesawat DC-3 Dakota. Tapi ketika anggaran untuk pertahanan
keamanan meningkat sampai 75 persen dari anggaran total, kemampuan lokal
tadi lenyap. Padahal di negara yang sudah maju, anggaran pertahanan
justru akan menggairahkan industri dalam negeri yang dimanfaatkan untuk
menyembuhkan resesi. Begitulah tragedi yang harus dialami bangsa yang
belum mandiri.
Nurtanio pernah mengatakan, bahwa pendekatan ke arah pembuatan pesawat terbang bisa juga ditempuh melalui peningkatan maintenance (perawatan dan pemeliharaan) secara bertahap. Dimulai dengan maintenance by repair, dan akhirnya maintenance by manufacturing.
Ia mengatakan, melalui kerjasama dengan Polandia dalam pembuatan
pesawat Gelatik dia bertujuan meningkatkan SDM ke produksi pesawat.
Nurtanio sendiri lebih memilih realistis, dan memilih berkonsentrasi
kepada bagaimana mencapai sasaran yang sedang dihadapinya. Penolakannya
akan modifikasi pesawat Lavochkin LA-11
menjadi pesawat jet juga berdasarkan pilihannya itu. Menjelang akhir
hayatnya, dia baru memberitahu bahwa dia sedang memodifikasi pesawat
STOL (Short Take Off Landing/Tinggal Landas dan Mendarat di
landasan pendek) bermotor ganda. Nurtanio juga mengungkapkan
keprihatinannya atas terpuruknya AURI paska peristiwa G30S/PKI yang
gagal.
Meski mengedepankan rasio, sebagai orang timur, Nurtanio juga percaya
dengan hal-hal yang bersifat ghaib, seperti kemunculan hantu dalam
perjalanan kereta api yang dihubungkan dengan tragedi atau kecelakaan,
atau munculnya bau wangi ketika pada waktu uji terbang dengan Kolentang, gyrocopter rakitan disain Benson di atas sebuah hanggar Lanud Husein Sastranegara, atau bahkan kecelakaan ringan yang dialami di Pameungpeuk,
ketika dia menjabat sebagai Direktur Jenderal LAPAN saat kegiatan
pembangunan stasiun peluncuran roket giat-giatnya dibangun. Meski minat
Nurtanio hanya sebatas gejala-gejala paranormal.
Nurtario gugur pada suatu kecelakaan pesawat terbang pada tanggal 21
Maret 1966, ketika menerbangkan pesawat Aero 45 atau Arev yang
sebenarnya buatan Cekoslowakia,
yang telah dimodifikasi dengan memberi tangki bahan bakar ekstra.
Pesawat ini sebenarnya akan digunakan untuk penerbangan keliling dunia,
dan Nurtanio mengalami kecelakaan saat kerusakan mesin, dia berusaha
untuk mendarat darurat di lapangan Tegallega, Bandung namun gagal karena
pesawatnya menabrak toko.
Namun sejarah kemudian mencatat bagaimana setelah gugur Nurtanio
tertimpa aib. LIPNUR diubah menjadi IPTN. Nama Nurtanio dihapus. Alasan
menghapus nama Nurtanio yang disampaikan secara resmi, sangat sepele.
Tuduhannya, adanya surat pribadi dengan kop perusahaan sehingga keluarga
Nurtanio difitnah akan memiliki saham IPTN. Isu itu kemudian, yang
sangat disayangkan, dibesar-besarkan bahkan didramatisasi.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Nurtanio_Pringgoadisuryo
Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Sumatera Barat tahun 1886, meninggal di Bandung, Jawa Barat pada 17 Juli 1959) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Dia dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959.
Selain itu ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda.
Ia dimakamkan di TMP Cikutra - Bandun.
Melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama dengan Ki Hadjar Dewantara, Abdoel Muis menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913.Pada tahun 1992, dia diasingkan ke Garut, Jawa Barat selama tiga tahun karena memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta. Abdoel Muis juga berperan dalam pendirian Technische Hooge School - Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mempengaruhi tokh-tokoh Belanda.
Abdoel Moeis
Abdoel Moeis |
|
Lahir | tahun 1886 Sungai Puar, Sumatera Barat |
Meninggal | 17 Juli 1959 Bandung, Jawa Barat |
Kebangsaan | Indonesia |
Karya terkenal | Salah Asuhan |
Biografi
Pendidikan terakhirnya adalah menamatkan pendikan di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta [2] Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim.
Pada tahun 1912 menjadi ia menjadi salah satu pendiri Kaoem Moeda dan sempat menjadi Pemimpin Redaksi, kemudian mendirikan surat kabar Kaoem Kita pada 1924.
Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam.Selain itu ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda.
Ia dimakamkan di TMP Cikutra - Bandun.
Riwayat Perjuangan
Perjuangan Abdoel Moeis melawan Belanda pernah mengakibatkan dirinya mendekap di penjara pada tahun 1919.Ketika itu, seorang Pengawas Belanda di Sulawesi Utara dibunuh ketika Abdoel Muis baru saja melengkapi pidato kelilingnya di sana dan dia persalahkan atas kejadian tersebut.Melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express, Abdoel Muis mengecam tulisan orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia.Melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama dengan Ki Hadjar Dewantara, Abdoel Muis menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913.Pada tahun 1992, dia diasingkan ke Garut, Jawa Barat selama tiga tahun karena memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta. Abdoel Muis juga berperan dalam pendirian Technische Hooge School - Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mempengaruhi tokh-tokoh Belanda.
Karya-karyanya
- Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972),diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia
- Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
- Surapati (novel, 1950)
- Robert Anak Surapati(novel, 1953)
Terjemahannya
- Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
- Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
- Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
- Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)
0 komentar:
Posting Komentar